Selasa, 28 April 2009

SEJARAH PENDIRIAN BEM UGM

SEJARAH BEM KM UGM
Pada awalnya wadah gerakan mahasiswa ini bernama Dewan Mahasiswa (DEMA). Kala itu kehadirannya dibilang cukup radikal sehingga membuat pemerintah merasa terancam. Tapi setelah peristiwa Malari, keradikalan DEMA menjadi berkurang. Pada 1978 terjadi demontrasi besar-besaran menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden. Pasca peristiwa tersebut, pemerintah memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Namun, hal itu tidak membuat gerakan mahasiswa menjadi berhenti. Bahkan gerakan mahasiswa semakin berkembang bak cendawan di musim hujan. Menghadapi keadaan tersebut, pada 1980 pemerintah Orde Baru memberlakukan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). BKK menggantikan DEMA yang diketuai oleh Pembantu Rektor III Bagian Kemahasiswaan. Sementara itu, mahasiswa dikonsentrasikan di tingkat fakultas di bawah Senat Mahasiswa (SEMA) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) tingkat fakultas tanpa adanya pola koordinasi dan komunikasi di tingkat universitas.
Pada kurun waktu 1987 – 1989, BKK diganti menjadi Forum Komunikasi SEMA BPM se-UGM. Kemudian pada kurun waktu 1989 – 1990 setelah diadakannya pemilu SEMA BPM, keberadaan Forum Komunikasi SEMA BPM diperluas dengan merangkul Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Selanjutnya, berkembang lagi menjadi Forum Komunikasi Kegiatan Mahasiswa (FKM) yang disahkan dengan SK Rektor. Seiring semangat perubahan, FKM diganti menjadi Senat Mahasiswa (SM) dalam Kongres I SM UGM pada 1990. Kelahiran SM tidak seperti yang diharapkan karena dalam prosesnya terjadi banyak perbedaan pendapat dan sikap yang mengakibatkan timbulnya perpecahan. Akhirnya, keluarlah SK Mendikbud No. 0475/U/1990 tentang Organisasi Mahasiswa di Perguruan Tinggi yang sekaligus dimulainya era Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT).
Pada 1992 dilaksanakan Kongres II SM UGM yang merupakan tonggak lahirnya Keluarga Mahasiswa (KM) UGM. Memang tidak berjalan mulus karena KM UGM dianggap tidak jauh berbeda dengan SMPT. Perbaikan-perbaikan terus dilakukan, salah satunya dengan memposisikan Senat Mahasiswa sebagai Lembaga Legislatif, Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai Lembaga Eksekutif, dan Kongres sebagai Forum Pemegang Kedaulatan Tertinggi mahasiswa UGM.
Kongres IV SM UGM yang diselenggarakan pada 1994 menetapkan adanya pemisahan UKM dari KM UGM. Sejak saat itu, UKM menjadi entitas tersendiri yang bertanggung jawab langsung pada rektorat. Dalam kongres tersebut juga sebagian besar peserta melontarkan ide untuk menghidupkan kembali DEMA sebagai pengganti KM UGM. Menurut mereka independensi DEMA lebih menjanjikan daripada KM UGM. Tapi akhirnya bentuk KM UGM tetap dipertahankan dengan melakukan berbagai pengembangan dan penyempurnaan. Selanjutnya, ditetapkan juga bahwa BEM UGM sebagai Lembaga Eksekutif yang bertanggung jawab pada Kongres.
Pada Kongres VI KM UGM tahun 1996 dihasilkan beberapa ketetapan, antara lain tentang perubahan status Kongres KM UGM sebagai Forum Tertinggi menjadi Lembaga Tertinggi dalam KM UGM dengan nama Kongres Mahasiswa UGM (KMU), Senat Mahasiswa UGM (SMU) sebagai Lembaga Legislatif tingkat universitas, Badan Eksekutif Mahasiswa UGM (BEMU) sebagai Lembaga Eksekutif tingkat universitas, Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) sebagai Lembaga Legislatif tingkat fakultas, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BMF) sebagai Lembaga Eksekutif tingkat fakultas, dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Lalu, disepakati juga Pemilihan Raya (PEMIRA) sebagai bentuk pemilihan formatur BEM UGM.
Pada Kongres VII KM UGM tahun 1997 ditetapkan adanya Badan Pekerja Kongres UGM yang bertugas membantu Ketua Kongres dalam tugas sehari-hari. Selain itu, pada periode tersebut juga dilakukan perbaikan sistem PEMIRA dan diberlakukannya sistem kepartaian dalam Pemilihan Raya. Hingga kini BEM KM UGM tetap eksis sebagai dinamisator kehidupan mahasiswa.
Hidup BEM KM UGM !
Hidup Mahasiswa !

Rekonstruksi Soliditas Gerakan Mahasiswa
Mobilisasi pergerakan mahasiswa setiap dekade zaman dilekati karakteristik dan tantangan yang berbeda-beda. Terlihat pada masing-masing zaman menampilkan figur, isu, problem yang berbeda. Menarik benang example, pergerakan mahasiswa Angkatan 66 membumikan isu otoritarian state dengan ‘Ikon tritura’. Angkatan 74 (Malari) mengusung isu NKK/BKK dengan ‘Ikon otonomisasi’. Angkatan 78 mengangkat isu perlunya merealisasi demokrasi, transparansi, akuntabilitas, bahkan pelaksanaan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dengan ‘Ikon menolak Soeharto sebagai calon presiden’ (Demokrasi Suatu Keharusan, Anwari WMK, 2004). Angkatan 98 mengumbar isu reformasi dengan ‘Ikon enam visi reformasi’. Angkatan 2001 dengan isu reformasi jilid 2 berikon ‘Demokratisasi’. Akankah, angkatan 2004 harus mengusung isu revolusi dengan ‘Ikon Cut Generation (potong generasi)
Power pergerakan mahsiswa, terdeskripsi sungguh menakjubkan. Membukakan memori kita pada tesis filsuf Hanna Arendt ‘The Human Condition’ (New York 1956) bahwa instrumentalisasi dan degradasi politik takkan pernah berhasil membungkam pergerakan atau menghancurkan realitas masalah-masalah kemanusian terbukti dalam setiap gelombang pergerakan mahasiswa tiap-tiap angkatan. Hal itu juga, lantaran gerakan mahasiswa terbangun diatas etika no blesse oblige (Burhan D. Magenda, 1997) yang didefinisikan suatu previlese atau etika yang terbangun atas dasar semangat militansi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat.

Menggali alasan lain penyebab tumbuhnya kepekaan mahasiswa terhadap persoalan yang bertitik fokus pada perjuangan membela kepentingan rakyat. Menurut Arbi Sanit (1985) lima hal yang melatar belakanginya. Pertama, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik memiliki persepektif atau pandangan yang cukup luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat.

Kedua, mahasiswa sebagai golongan yang cukup lama bergelut dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara generasi muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa, dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi di antara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasan, struktur ekonomi, dan memiliki keistimewaan tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok elit di kalangan kaum muda.

Kelima, mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian pelbagai masalah yang timbul di tengah kerumunan masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya.


Rapor Merah Gerakan Mahasiswa

Realita membahasakan 'reformasi jalan ditempat'. Artinya, mahasiswa gagal dalam mengisi dan mengawal reformasi. Padahal, daya dobrak Gerakan mahasiswa 1998 yang berhasil menggulingkan rezim Orde Baru merupakan momen penting sebagai starting point dalam rangka menyelamatkan bangsa dalam kondisi sedang sekarat. Pada kenyataan, mahasiswa lengah dan membuang kesempatan tersebut

Fenomena pergerakan melempemnya pergerakan mahasiswa pasca reformasi seolah kehingan roh merupakan rapor merah yang harus dihitamkan. Menurut hemat penulis, terdapat beberapa akar penyebab gerakan mahasiswa pasca reformasi kehilangan vitalitas perjuangan. Pertama, terjadinya fragmentasi (perpecahan) intern dalam gerakan mahasiswa. Menurut Dr. Alfian, dosen UI dan peneliti katalis menyebutkan bahwa salah satu penyebab terjadinya problema dalam pergerakan mahasiswa adalah fragmentasi lantaran prinsip ideologi yang menancap pada sekelompok mahasiswa yang condong mengarah pada “perbedaan Idealisme” sehingga mengerucut menjadi perpecahan dalam pergerakan.

Kedua, muncul kelompok mahasiswa oportunis, sehingga posisi mahasiswa dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok/individu tertentu. Gejala ini, terlihat pada isu terbaru yang mengatakan gerakan mahasiswa ---antimiliterisme, anti Orde Baru, anti pelanggar HAM atau anti yang lainnya --- ditunggangi kelompok tertentu. Padahal gerakan mahasiswa harus independen dan kudu konsisten dengan gerakan moral. Perihal inilah, membuat lemahnya pergerakan mahasiswa hari ini.

Ketiga, apatisme kebanyakkan mahasiswa akan posisi dan peranya sebagai agent of change (agen perubah), moral force (kekuatan moral) dan iron stock (perangkat keras) suatu bangsa. Di tambah dengan sekelompok Mahasiswa melakukan pergerakan cenderung atas dasar kepentingan tertentu saja, problema ini membuat gerakan mahasiswa kehilangan roh dan mengalami dekadensi eksistensi di tengah masyarakat.

Pandangan miring terlihat dari pernyataan Misbah Shoim Haris (1997) dikutip dalam bukunya. "Namun, selama ini yang kita lihat, realitas tidaklah seindah bayangan (idealisme) kita. Masih terlalu banyak mahasiswa yang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tanggung jawabnya sebagai pengemban rakyat. Pandangan tersebut, tentunya berimplikasi pada posisi dan peran mahasiswa, sehingga eksistensi mahasiswa di mata masyarakat memudar." (Media Kampus, Senin, 15 /03/04)

Rekonstruksi Soliditas Gerakan Mahasiswa

Mengutip pepatah para ilmuwan francis La Historie Se Pete ( sejarah akan selalu berulang), mengoptimisisasi akan kembalinya roh pergerakan mahasiswa sebagaimana gerakan mahasiswa dekade sebelumnya . Adapaun lampu hijau yang harus ditempuh.. Pertama, membudayakan pemahaman sisi persamaan perjuangan dengan menerapkan sikap toleransi dalam perbedaan. Kedua, menjalin komunikasi antar sesama kelompok mahasiswa. Ketiga, meruntuhkan sikap saling curiga, dengki serta menepis jauh-jauh sikap high egoisme yang rentan menghinggapi mahasiswa. Keempat, mengikis infantilisme (kekanak-kanakan) mahasiswa. kelima, membangun indepedensi pergerakan mahasiswa. Mengingat, mahasiswa adalah kelompok sejati, abadi, dan berada di barisan terdepan dalam jajaran generasi muda. keenam, membangun sikap kritis dan arif dalam memandang suatu permasalahan.

Mengevaluasi format pergerakan mahasiswa selama ini, cendrung stagnan, vakum dan mengalami fragmentasi. The big work (pekerjaan besar) mahasiswa hari ini adalah merekonstruksi soliditas pergerakan, memulai gerakan yang lebih sistematis dengan menepis fragmentasi wacana, menghindari fragmentasi gerakan, menuju sinergitas bersama. Sekaligus mengawasi dan mempresure siapa pun pemimpin bangsa Indenesia dalam pemilu putaran pertama 5 Juli dan kedua 21 September mendatang agar merealisasi enam visi reformasi yang pernah ditawarkan mahasiswa. Sebagai pertanggungjawaban mahasiswa yang telah berani memulai ‘Reformasi 1998’.

Bersimpul pada langkah dan tujuan pergerakan yang sama yaitu membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan krisis multidimensi dan intimidasi kekuasan menuju titik Enlightment (pencerahan).

Membangun tradisi Ilmiah

MEMBANGUN TRADISI ILMIAH

Membangun tradisi ilmiah yang kokoh ditandai oleh banyak ciri.
1. Pertama, berbicara atau bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan.
2. Kedua, tidak bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap sesuatu sebelum mengetahui dengan baik dan akurat.
3. Ketiga, selalu membandingkan pendapatnya dengan pendapat kedua dan ketiga sebelum menyimpulkan atau mengambil keputusan.
4. Keempat, mendengar lebih banyak daripada berbicara.
5. Kelima, gemar membaca dan secara sadar menyediakan waktu khusus untuk itu.
6. Keenam, lebih banyak diam dan menikmati saat-saat perenungan dan kesendirian.
7. Ketujuh, selalu mendekati permasalahan secara komprehensif, integral, objektif, dan proporsional.
8. Kedelapan, gemar berdiskusi dan proaktif dalam mengembangkan wacana dan ide-ide, tetapi tidak suka berdebat kusir.
9. Kesembilan, berorientasi pada kebenaran dalam diskusi dan bukan pada kemenangan.
10. Kesepuluh, berusaha mempertahankan sikap dingin dalam bereaksi terhadap sesuatu dan tidak bersikap emosional dan meledak-ledak.
11. Kesebelas, berpikir secara sistematis dan berbicara secara teratur.
12. Keduabelas, tidak pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar.
13. Ketigabelas, menyenangi hal-hal yang baru dan menikmati tantangan serta perubahan.
14. Keempatbelas rendah hati dan bersedia menerima kesalahan.
15. Kelimabelas, lapang dada dan toleran dalam perbedaan.
16. Keenambelas, memikirkan ulang gagasan sendiri atau gagasan orang lain dan senantiasa menguji kebenaran.
17. Ketujuhbelas, selalu melahirkan gagasan baru secara produktif.

Akhirnya membaca menjadi instrumen utamanya. Dan, jika kita ingin mengokohkan tradisi ilmiah kita, sudah saatnya kita berhenti membaca apa yang kita senangi. Beralihlah untuk membaca apa yang seharusnya kita baca.

Senin, 27 April 2009

Pola Kaderisasi KAMMI

Pola Pembinaan Kaderisasi KAMMI
Aza El Munadiyan

Pendahuluan
KAMMI sebagai organisasi yang memiliki karakter sebagai organisasi kader ( harokatul tajnid ) sudah sewajarnya sangat memperhatikan pembinaan terhadap kader-kadernya. Karakter inilah yang memperlihatkan bahwa KAMMI konsen terhadap pembentukan kader pemimpin yang akan mewujudkan Indonesia yang Islami. Pembinaan yang dilakukan KAMMI meliputi tiga aspek ruhiyah, fikriyah, dan jasadiyah yang berjalan seimbang dalam pemenuhan kebutuhan dari masing-masimng aspek. Ketiga aspek tersebut haruslah seimbang dalam pemenuhanya , tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi. Perkembangan pola pembinaan KAMMI ini bisa dibilang cukup baik, hal ini dari proses membina kader. Kader adalah bagian terkecil dari suatu organisasi, bertahan atau matinya organisasi terletak dari pembinaan kader ( kaderisasi ). Apabila pola pembinaan kader mampu berjalan dengan baik ibaratnya setengah nyawa dari organisasi itu telah ada tinggal bagaimana manajemen organisasi tersebut mampu mengelola kader dengan baik.
Dalam makalah ini akan kami paparkan bagaimana pola kaderisasi yang coba kami tawarkan. Pola yang kami tawarkjan mungkin sudah tidak orisinil lagi karena mungkin otak kami suda terkooptasi oleh banyak pola kaderisasi yang kami terima dari berbagai pihak dalam rangla pembentuka jati diri. Pola pembinaan ini kami bagi dalam empat tingkatan namun, bukan berarti dengan apabila sudah mencapai level tingkatan teratas tingkatan yang dibawahnya akan ditinggalkan. Dasar dari pembagian tingkatan tersebut adalah pada luas lingkup dari gerakan kader. Tingkat pertama dimulai dari pembinaan dengan obyek paling kecil yang menjadi penopang oraganisasi yaitu kader. Dalam proses pembinaan kader ini aspek-aspek yang kami sampaikan berdasarkan analisis kebutuhan mendasar dari seorang manuasia, khususnya kader. Pada tingkatan kedua kami memberikan ruang lingkup yang lebih luas yaitu beberapa kader ditempatkan pada kelompok-kelompok yang terdiri dari 5-8 kader. Pembinaan pada masyarakat menjadi pola pembinaan tingkat ketiga yang akan diterim kader. Pembinaan kader dalam ruang lingkup negara dan dunia menjadi tingkatan terkahir yang diterima kader.

Latar Belakang Masalah
Kader suatu organisasi adalah orang yang telah dilatih dan dipersiapkan dengan berbagai keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga ia memiliki kemampuan yang diatas rata-rata orang umum. Oleh karena itu jika mentoring dan training keislaman , atau training-training lainnya yang dilakukan oleh organisasi Islam, sementara para aktivisnya tak menunjukkkan kelebihan-kelebihan yang signifikan dbandingkan dengan orang-orang umum, maka sesungguhnya pengkaderan yang dilakukan dapat dikataklan tak berhasil. Atau sederhananya, pengkaderan tersebut menyalahi filosofi pengkaderan. Yakni munculnya kader yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Bukan sebaliknya, munculnya kader yang sama dengan manusia rata-rata.
Dalam proses kaderisasi yang dilakukan menemui banyak kendala dan permasalahan dengan semakin banyaknya kader dan semakin luasnya ladang dakwah. Kondisi ini tidak dapat dihindari karena merupakan sunnatullah, bisa dianalogikan dengan sebuah permaianan bisik-bisik kata awal permaianan pada pembisik awal apa yang disampaiakan masih sesuai dengan yang awal namun pada penerima pesan bagian akhir terjadi pergeseran akibat distorsi yang terjadi. Pola yang dibangun sebenarnya sudah cukup baik namun pada tartan penerima ternyata hanya sebagian kecil yang mampu meyerap dan menerimanya bahkan banyak pula yang banyak melakukan penolakan. Kondisi tersebut yang membuat system yang telah disusun tidak dapat berjalan dengan semestinya. Menurut analisis kondisi yang tejadi sekarang ini, kader terlena dengan halusnya jalan dakwah tanpa banyak mengalami hambatan yang cukup berarti sehingga kader terkesan santai dan menganggap enteng perjuangan dakwah ini. Pepatah mengatakan kera tidak akan jatuh karena adanya angin puting beliung, bohorok ataupun angin yang bertiup kencang lainya namun kera akan jatuh karena angin yang sepoi-sepoi yang melenakanya yang membuat kera tersebut terbuai dn tertidur lalu akan jatuh.
Permasalahan yang muncul selanjutnya sebagai efek domino dari terlenanya kader adalah azzam ( semangat/ keinginan ) kader untuk belajar menjadi lemah. Efek yang cukup terasa adalah kaffaah kader yang sangat minim sehingga kemampuan untuk menganalisis dan menagmbil tindakan dengan tepat sangat lemah. Kemampua kader yan minim tersebut berakibat pada pemikiran dan tindakan yang diambil anya berdasarkan asumsi belaka tanpa dasar yang kuat. Melemahnya kaffaah kader berakibat juga pada minimnya inisiatif kader yang berakibat pada minimnya syiar kelembagaan. Kondisi tersebut semakin memperlemah kualitas darikader siyasi yang harapanya kedepan akan menjadi pemimpin masa depan. Permasalahan tersebut diatas ibarat bola salju yang siap meluncur dari puncak gunung es yang akan memporak-porandakan setiap benda yang menghalangi jalanya so, kehancuran akan terjadi dimana-mana.

Solusi Permasalahan
Mengatasi permasalahan pada proses kaderisasi membutuhkan waktu yang panjang, hal ini terjadi kaena membentuk kader cukup sulit, ibarat menggenggam pasir terlalu kencang pasir akan lepas, terlalu lemah pasirpun tak dapat dipertahankan. Pola yang kami tawarkan adalah pola kaderisasi secara bertingkat. Kaderisasi pertama adalah kaderisasi terhadap masing-masing kader. Pembinaan ini meliputi pembinaan dan penjagaan ruhiyah. fikriyah, dan jasadiyah. Pembinaan ruhiyah meliputi pembinaan tehadap spiritual (amal yaumiyah) dari kader mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, mulai dari ketertiban amal yang kecil sampai amal yang besar itulah pemahaman yang kami lakukan. Secara lebih spesifik, untuk pembinaan dan penjagaan ruhiyah kader diserahakan pada forum halaqoh mingguan dan keinginan masing-masing kader untuk menjadi lebih baik.
Pembinaan fikriyah dapat dilakukan dengan dauroh-dauroh, forum-forum kajian, diskusi rutin mingguan secara berkala bukan temporal. Selama ini kami melihat iklim yang terjadi adalah kultur untuk membaca, diskusi cukup lemah apalagi keinginan untuk menulis sangat mengkhawatirkan, padahal peradaban diawali dan dibangun dengan tulisan. Kondisi ini yang membuat banyak kader kurang dalam hal kafaah sehingga dalam setiap landasan gerak yang dilakukan, kader kurang dasar yang kuat. Kondisi tersebut sebenarnya bukan hanya kesalahan kader semata, hal ini terjadi juga karena tiada sistem yang mengarahkan kader. Kondisi ini membuat semakin lemahnya fikriyah kader.
Pembinaan terhadap jasad memilki posisi penting dalam perjuangan dakwah. Kondisi yang fit dari jasad akan mampu menopang gerak-gerak dakwah yang akan melewati padang gurun yang gersang, semak-semak belukar. Dalam penguatan jasadiyah ini mampu dipergunakan sebagai sarana penguatan kultural anatar kader dan sebagai salah satu jalan untuk mengendorkan urat-urat yang keras dan tegang. Dalam penguatan jasadiyah ini metode dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Setelah proses penguatan individu kader proses selanjutnya dapat dilakukan dengan pembuatan keluarga-keluarga ( liqo siyasi) yang akan melakukan penjagaan yang intensif terhadap kader. Apabila kondisi liqo siyasi sudah mampu menjadi wadah yang kokoh proses selanjutnya adalah membentuk sistem yang akan dijalankan dalam masyarakat
Proses yang kami paparkan diatas, merupakan sistem strategi teknis dakwah yang akan kita lakukan, adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait filosofi kaderisasi yang harus diperhatikan benar oleh setiap KAMMI yakni:
1. KAMMI harus mencari bibit-bibit unggul dalam kaderisasi (dengan tanpa meninggalkan kader-kader umum yang siap berkhidmat untuk kepentingan Islam ) , bukan malah meninggalkannya, karena para bibit unggul tersbut dianggap "sulit/alot" untuk dikader.
2. KAMMI harus mampu menawarkan visi- missi ke depan yang jelas dan memikat ; serta menawarkan romantika Islamisasi yang menantang bagi para Muslim-Muslimah yang potensial; sehingga mereka dengan senang hati akan terlibat mencurahkan segenap potensinya di jalan Islam.
3. Untuk dapat menjalankan peran no.2 diatas , maka KAMMI harus terlebih dahulu mematangkan visi-missi mereka; dan termasuk sikap mereka terhadap persoalan mendesak dan aktual kemasyarakatan; serta pada saat yang sama tersedianya para pengkader yang handal, untuk menggarap bibit-bibit potensil tadi.
4. Ciri kader -kader potensil , setelah mereka memahami dan meyakini fikroh dan manhaj yang telah diinternalisasikan kepadanya, maka jiwanya akan terpacu untuk berkerja, berkarya dan berkreasi seoptimal mungkin. Maka di sini KAMMI dituntut untuk dapat mengantisipasi dan menyalurkannya secara positif. Dan memang sepatutnya organisasi/pergerakan mampu melakukannya, karena bukankah yang namanya organsiasi/pergerakan berarti terobesesi progresif bergerak maju dengan satu organisasi yang efisien dan efektif , bukan sebaliknya.
5. Jika ternyata karena satu dan lain hal kader-kader tersebut tak dapat direkrut masuk ke dalam, maka KAMMI harus mencari mekanisme lain untuk tetap dapat berkerjasama dengan mereka dalam berbagai kemaslahatan sejauh yang dimungkinkan. Karena efektivitas dan efesiensi proses Islamisasi pada hakikatnya terkait langsung dengan kemampuan mensinergiskan seluruh potensi, bukan malah memecah belahnya.
6. Akhirnya kembali perlu ditegaskan bahwa hal yang tak boleh terjadi dalam kaderisasi, yakni suatu proses pengkaderan yang tak terobesesi / mengambil peduli untuk merekrut kader-kader yang potensil . Jika hal ini terjadi, maka sesungguhnya pengkaderan tersebut telah menyalahi filosofi kaderisasi. Itu mungkin terjadi manakala para pengkader kehilangan visi dan missi besar yang harus dimainkan oleh organisasi/gerakan Islam. Semoga kita bisa menghindarkan hal ini, suatu gejala yang lebih tepat disebut kederisasi (baca keder bahasa Betawi) ketimbang kaderisasi.
Penutup
Peran kaderisasiu yang sanagt vital dalam menjaga kelangsungan KAMMI kedepan hendaknya menjadi sebuah catatan serius disamping gerakan-gerakan yang KAMMI lakukan.
Kesimpulan
Dalam makalah mengenai pola pembinaan kaderisasi KAMMI yang ini ada beberapa hal yang dapat kami ambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kader suatu organisasi adalah orang yang telah dilatih dan dipersiapkan dengan berbagai keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga ia memiliki kemampuan yang diatas rata-rata orang umum.
2. Pembentukan kader meliputi tiga aspek yaitu ruhiyah, fikriyah, dan jasadiyah.
3. Penjagaan kader membutuhkan sebuah sistem yang dapat menjaga kader secara konsisten dan berthap dengan baik

Resensi dari gerakan ke negara

Ats-Tsawabit Wal-Mutaghayyirat

Ada sebagian kaum muslimin yang menganggap bahwa segala yang telah ada (baca: dilakukan) generasi awal Islam adalah sesuatu yang final dan harus diikuti, hatta dalam model pakaian dan hal lain yang sebenarnya masuk dalam domain “umuriddunya”. Sebagian yang lain, merupakan lawan ekstrim dari golongan pertama, bahwa apapun yang ada dalam Islam bisa diubah seiring dengan perkembangan zaman. Tidak peduli apakah ia masalah muamalah maupun ibadah dan aqidah, semuanya bisa diubah mengikuti “semangat zaman”.
Pandangan seperti di atas bisa saja terjadi ketika seorang muslim tidak mengetahui tsawabit dan mutaghayyirat dalam Islam. Mana hal-hal prinsip yang bersifat permanen, tidak boleh berubah. Dan mana hal-hal yang bersifat fleksibel, yang perlu dikembangkan dan dilakukan inovasi.
Dalam hal dakwah dan harokah juga demikian. Termasuk ketika umat berbicara tentang gerakan dakwah Islam terbesar; Ikhwanul Muslimun. Saat harokah ini di berbagai belahan dunia melakukan transformasi dalam ‘bentuk lain’ yang ‘berbeda’ dari tampilannya pada zaman Hasan Al-Banna, banyak komentar yang menganggap bahwa Ikhwan tidak lagi berada dalam asholahnya. Terlebih ketika harokah ini di beberapa negara sering kali melakukan ‘manuver dakwah’ maka suara-suara itu lebih terdengar. Tidak hanya dari orang umum dan simpatisannya, bahkan sebagian kadernya juga ikut terbawa dalam pandangan ini.
Sementara itu, tantangan dan problematika yang dihadapi harokah Islam sekarang berbeda dengan apa yang pernah dihadapinya dulu. Peluang yang terbuka juga tidak sama persis dengan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Zaman dan tipologi manusia yang ada sekarang juga berbeda. Dengan argumentasi ini, ada juga kemudian yang mengusulkan bahwa ‘manuver dakwah’ harus lebih kencang dan bahkan menyangkut hal-hal yang sebenarnya prinsip juga menjadi berubah.
Maka, kehadiran buku Ats-Tsawabit Wal-Mutaghayyirat karya Jum’ah Amin ini menjadi cahaya terang yang bisa dijadikan referensi tentang Ikhwan, tidak hanya bagi kadernya tetapi juga bagi simpatisan dan umat Islam secara umum.
Setelah menjelaskan tentang definisi tsawabit dan mutaghayyirat, penulis menjelaskan pula 10 tsawabit dalam dakwah Ikhwanul Muslimun, yaitu:
1. Nama Jama’ah tidak boleh berubah sebab ia merupakan cerminan fikrah, aplikasi, sejarah dan loyalitas.
Artinya, ketika disebutkan nama Ikhwanul Muslimun, maka akan segera tergambar sebuah jamaah dakwah dengan berbagai karakternya yang khas. Namun, ke-tsawabit-an nama ini hanya diperuntukkan bagi tandzim alamy (organisasi pusat). Adapun cabang-cabangnya di berbagai negara diperbolehkan menggunakan nama yang berbeda sesuai dengan kondisi sosial politik dan peluang serta kapasitas internal jamaah.
2. Beramal jama’I adalah kewajiban yang harus selalu menyatu dengan aktifis dakwahnya. Maka kader Ikhwan akan senantiasa bersama dengan jamaah baik keputusan jamaah sesuai dengan pendapatnya atau berbeda. Dan tentu saja karena jamaah ini adalah jamaah Islam maka segala keputusannya harus sesuai dengan konsep Islam dan amal jamainya pun dalam rangka penegakan Islam.
3. Jalan yang dilalui dalam upaya meraih cita-cita dan tujuannya adalah dengan tarbiyah. Meskipun pada saat yang sama juga ada dakwah struktural, perubahan sosial melalui gerakan massa, dan sebagainya, tarbiyah (pengkaderan) tetap menjadi langkah utama. Hal ini membawa implikasi meskipun suatu saat jamaah ini sudah memasuki ranah politik atau bahkan ranah negara, memiliki massa yang demikian banyak jumlahnya, ia tetap harus melalukan proses tarbiyah. Dengan tarbiyah itu ia menjaga dan mengembangkan kader yang sudah ada, dengan tarbiyah pula ia menambah jumlah kader itu.
4. Usrah adalah tempat asuhan tarbiyah. Meskipun wasailut tarbiyah (sarana-sarana tarbiyah) itu banyak, tetapi usrah tetap menjadi jiwa dari semua sarana yang ada. Meskipun sarana tarbiyah bisa berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi (misalnya dengan telekonferens dan taujih leave), usrah tidak boleh ditinggalkan. Ia menjadi benteng terakhir bagi tarbiyah, otak bagi amal jama’i, dan senjata utama dalam merealisasikan cita-cita.
5. Prinsip-prinsip jamaah, baik mengenai pemahaman aqidah, pemikiran, atau ideloginya bisa dirujuk dalam risalah ta’alim (khususnya ushul isyrin) dan risalah aqaid. Maka, bagi kadernya sangat diperlukan mempelajari risalah tersebut, sebab ia merupakan batasan dan arahan dalam memahami Islam. Jika batasan atau kaidah dalam risalah ini telah benar-benar dikuasai maka baru boleh baginya membaca referensi apapun dan tidak dikhawatirkan akan terkena syubhat dan ghazwul fikr dari pihak yang memusuhi Islam.
6. Bahwa Islam itu bersifat syumul (komprehensif) dan karenanya jamaah dakwah Islam juga harus bersifat komprehensif. Dari sini bisa diketahui kelemahan harokah Islam yang hanya mengkonsentrasikan diri pada salah satu aspek dalam Islam; aqidah saja atau politik saja, misalnya.
7. Syuro adalah pengikat bagi setiap ikhwah dalam memecahkan permasalahan dan menyelesaikan perbedaan.
8. Menghormati sistem dan peraturan jamaah adalah moralitas yang selayaknya dijunjung tinggi setiap ikhwah
9. Pilihan fiqih yang telah ditetapkan oleh jamaah harus diikuti oleh anggota
10. Allah menjadi tujuan dalam setiap ucapan dan perbuatan. [Muchlisin]